Penurunan Tarif Interkoneksi Harus Utamakan Konsumen

Rabu, 22 Juni 2016 - 14:59 WIB
Penurunan Tarif Interkoneksi Harus Utamakan Konsumen
Penurunan Tarif Interkoneksi Harus Utamakan Konsumen
A A A
JAKARTA - Sejumlah pengamat dan praktisi kebijakan publik mengimbau pemerintah untuk mengutamakan kepentingan konsumen dalam menetapkan penurunan tarif interkoneksi. Penurunan yang tepat akan mengefisienkan biaya telekomunikasi, sehingga mencegah praktik monopoli terutama di luar Pulau Jawa.

Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menilai penurunan tarif interkoneksi harus dilakukan demi kepentingan publik, sehingga prioritas yang dilakukan juga untuk kepentingan konsumen. Biaya yang mahal akibat aturan ini tidak seharusnya dibebankan pada konsumen, jika pemerintah bisa mengatur tarif tersebut.

Saat pemerintah mengimplementasikan tarif interkoneksi pada 2007, dia sudah pernah mengingatkan bahwa ada kemungkinan terjadinya dominasi operator, khususnya di luar Jawa. "Dari dulu saya sudah ingatkan kemungkinan adanya dominasi operator, tapi pemerintah tak kunjung ada aksi konkret," katanya, Rabu (22/6/2016).

Sebagai informasi, tarif interkoneksi yang tak mengalami penurunan drastis ini menjadi masalah. Sebab, ada praktik monopoli yang dilakukan salah satu operator besar di Tanah Air. Penyedia jaringan dan jasa telekomunikasi itu mematok harga tinggi kepada pelanggan di luar Jawa.

Untuk itu, Agus meminta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bertindak. Pasalnya, konsumen khususnya yang di luar Jawa tak memiliki pilihan selain menggunakan jasa operator bertarif mahal. "KPPU harus buat fatwa, karena betul konsumen tidak punya pilihan," ujarnya.

Menyadari hal itu, dengan tarif interkoneksi yang turun lebih dari 30% diharapkan terjadi persaingan usaha yang lebih sehat. Kenyataannya, biaya telepon antar operator masih saja melambung tinggi.

Ketua Pelaksana Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai ada dua skema pemerintah untuk melakukan penurunan ini. Pertama, metode business to business yang dianggap menguntungkan operator besar.

"Itu akan menjadikan tarif interkoneksi menjadi barrier bagi operator kecil sehingga menguntungkan operator besar," ujarnya.

Kedua, skema berbasis biaya, di mana dalam opsi ini pemerintah memformulasikan harga paling pas untuk tarif ini. Sehingga dalam penerapannya, akan ada selisih harga yang tak terlampau tinggi bagi konsumen untuk melakukan komunikasi antar dua operator berbeda. "Ini akan menguntungkan operator kecil," kata Tulus.

Dia menjelaskan, secara logika tarif telekomunikasi akan turun seiring turunnya tarif interkoneksi. Namun, perlu diperhatikan bagaimana operator besar membangun jaringan di pelosok.

Tulus menilai kualitas berbanding lurus dengan harga atau tarif. Dia meminta tarif interkoneksi ini dilihat secara menyeluruh. Sementara, operator lain yang lebih kecil, yang tidak mampu membangun jaringan di luar Jawa akhirnya harus menerima kenyataan.

Di sisi lain, operator besar akan terganggu dengan jaringan sistem mereka yang terbebani. "Karena jaringan atau sistem terbebani trafik operator lain yang tidak membangun jaringan," imbuh Tulus.

Atas dasar itu, pemerintah diminta untuk memberi hak khusus bagi operator yang membangun infrastruktur di daerah terpencil. Pembangunan yang tidak menguntungkan secara ekonomi ini, harus diberi hak eksklusif.

"Harus diberi hak eksklusif dan ini tidak bertentangan dengan kebijakan kompetisi," katanya.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0603 seconds (0.1#10.140)