Tarif Interkoneksi, Pemerintah Perlu Pakai Skema Paling Efisien

Minggu, 12 Maret 2017 - 17:18 WIB
Tarif Interkoneksi, Pemerintah Perlu Pakai Skema Paling Efisien
Tarif Interkoneksi, Pemerintah Perlu Pakai Skema Paling Efisien
A A A
JAKARTA - Pemerintah disarankan menggunakan skema hitungan paling efisien guna menentukan tarif interkoneksi dalam rangka efisiensi industri telekomunikasi nasional. Tujuannya untuk memberikan manfaat yang luas bagi masyarakat karena tarif telekomunikasi lebih terjangkau.

"Pemerintah sebagai regulator seharusnya menerapkan tarif interkoneksi dengan batas atas sebagai acuan untuk mendorong dan mempromosikan persaingan usaha sehat di industri telekomunikasi nasional," ujar pengamat telekomunikasi Bambang P Adiwiyoto dalam keterangannya, Jakarta, Minggu (12/3/2017).

Menurutnya, penetapan tarif dapat mengunakan dua pendekatan, yakni ilmu ekonomi dan ilmu bisnis. Dari pendekatan ilmu ekonomi, tarif ditetapkan berdasarkan perpotongan antara kurva supply dan kurva demand.

Sementara, pendekatan ilmu bisnis, praktik full cost pricing terjadi apabila harga suatu produk dihitung perusahaan berdasarkan biaya langsung per unit ditambah mark up untuk menutup biaya overhead dan keuntungan.

Praktik ini sering digunakan pelaku usaha karena sulitnya menghitung secara tepat permintaan suatu barang dan menetapkan harga pasar. Sedangkan dalam penetapan biaya interkoneksi, biasanya menggunakan salah satu metode dari tiga metode yang ada, yakni historical-cost approach, forward-looking approach, atau pendekatan biaya interkoneksi.

Regulator dan operator sepakat memilih model pendekatan long run incremental cost (LRIC). LRIC adalah biaya tambahan yang timbul dalam jangka panjang dengan tambahan volume trafik untuk produksi spesifik.

Model ini menghitung biaya untuk membangun kembali elemen jaringan spesifik dengan mempergunakan teknologi yang ada, dengan asumsi bahwa biaya operasi dan modal dimanfaatkan secara efisien.

"Sampai 2015, Telkomsel ditetapkan sebagai acuan karena dianggap sebagai operator STBS paling efisien. Tapi berdasarkan perhitungan terakhir yang disampaikan dan diketahui regulator, ada operator STBS lain yang dinyatakan paling efisien. Di mana, memiliki tarif interkoneksi paling rendah, bahkan jauh lebih rendah daripada Telkomsel," ujar mantan anggota BRTI dan KPPU ini.

Meski demikian, regulator tetap mempergunakan angka perhitungan di atas sebagai acuan perhitungan tarif telekomunikasi. Padahal, tarif interkoneksi tersebut jauh lebih besar dari angka yang dimiliki salah satu operator STBS.

Hal ini menyebabkan tarif telekomunikasi menjadi mahal sekali. Dalam kondisi seperti sekarang ini, tarif yang tinggi menyebabkan perpindahan surplus konsumer ke surplus produser.

"Apabila regulator tetap mempergunakan metode LRIC, seyogyanya regulator segera melakukan perhitungan ulang tarif interkoneksi dengan mengacu kondisi operator yang paling efisien," paparnya.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan, pemerintah mendorong penurunan biaya interkoneksi dengan tujuan ingin memberikan efisiensi dan keberlanjutan industri penyelenggaraan telekomunikasi, seperti soal pengembangan wilayah dengan tetap menjamin ketersediaan infrastruktur.

"Sedangkan dari sisi pelanggan jasa telekomunikasi, pemerintah berharap penurunan biaya interkoneksi diharapkan dapat menurunkan tarif pungut (retail) untuk layanan antar penyelenggara (off-net) tanpa mengurangi kualitas layanan," ujarnya.

Dia menekankan kembali bahwa interkoneksi adalah hak pelanggan yang harus dilayani operator. Pelanggan punya hak untuk mendapatkan layanan interkoneksi. Sebaliknya, kewajiban operator untuk memberi layanan interkoneksi kepada masyarakat.

Mengingat interkoneksi juga berdimensi B2B (business to business) sehingga ada business arrangement, menurut Menkominfo, seyogianya perbedaan dalam cara bisnis operator ataupun capex tidak boleh menjadi penghalang interkoneksi.

"Kepentingan pemerintah dalam interkoneksi adalah pelanggan dan industri yang sustainable. Ujung-ujungnya ya harus industri yang sustainable," tandasnya.

Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia I Ketut Prihadi Kresna juga mengamini keinginan pemerintah dengan menegaskan bahwa pihaknya jelas mendukung industri telekomunikasi yang sehat.

"Penyesuaian terhadap tarif interkoneksi adalah salah satu upaya mengarah kepada persaingan industri telekomunikasi yang sehat," tegasnya.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9833 seconds (0.1#10.140)