Jepang, China dan Malaysia Ikut Perlombaan Bisnis Ruang Angkasa

Jum'at, 14 April 2017 - 06:50 WIB
Jepang, China dan Malaysia Ikut Perlombaan Bisnis Ruang Angkasa
Jepang, China dan Malaysia Ikut Perlombaan Bisnis Ruang Angkasa
A A A
TOKYO - Industri komersial ruang angkasa bukan melulu dominasi Barat, seperti Elon Musk dengan bendera SpaceX, Richard Branson dengan Virgin Galactic dan Jeff Bezos yang memiliki wahana Blue Origin. Benua Asia pun tidak mau kalah berkompetisi di bisnis ruang angkasa.

Melansir dari CNBC, Kamis (13/4/2017) pemerintah dan perusahaan Jepang, AD Aerospace sedang mengembangkan layanan wisata ke ruang angkasa bagi warga sipil. Begitu pula dengan perusahaan China Kuang-Chi Science.

CEO PD Aerospace Shuji Ogawa mengatakan bahwa perusahaan Asia tidak kalah dengan Barat dalam perlombaan bisnis ruang angkasa. Meski demikian, Ogawa menegaskan kehadiran perusahaan Asia bukan bertujuan menyaingi SpaceX, Virgin Galactic atau Blue Origin.

“Ketika kita baru mencapai tahap hadir, mereka telah berlari lebih jauh. Namun intinya wisata ruang angkasa adalah mimpi universal, bukan soal Jepang atau Barat tetapi untuk semua orang. Hal ini penting bagi kita untuk melihat Bumi dari ruang angkasa,” ujarnya.

Perusahaan yang berbasis di Nagoya ini sedang mengembangkan sub-orbital pesawat ruang angkasa yang menampilkan sistem propulsi yang bergantian antara jet dan roket. Wahana ini didesain bisa membawa delapan orang, yaitu dua pilot dan enam penumpang dengan jarak tempuh lebih dari 100 kilometer di atas Bumi. Yaitu batas antara atmosfer Bumi dengan luar angkasa.

PD Aerospace berencana melakukan uji coba pertama pada tahun 2020, kemudian memulai operasi pariwasata ruang angkasa di tahun 2023. Menariknya, agar pariwisata ruang angkasa ini bisa dinikmati banyak orang, Ogawa mendiskon habis harga perjalanan. Dari semula ditetapkan 14 juta yen atau Rp1,6 miliar per orang (kurs JPY1 = Rp121) menjadi 398 ribu yen atau setara Rp48,28 juta. “Kami ingin menawarkan wisata ruang angkasa untuk orang-orang biasa,” katanya.

Bandingkan dengan harga Virgin Galactic yang mencapai USD250 ribu alias Rp3,3 miliar (estimasi kurs Rp13.263/USD) untuk sebuah perjalanan yang dirancang melebihi 100 km di ketinggian Bumi.

Sementara itu, perjalanan SpaceX dari Bumi ke planet Mars dengan jarak tempuh 54,6 juta kilometer dari Bumi harganya USD200 ribu alias Rp2,65 miliar. Adapun Blue Origin belum mengungkapkan rincian harga. Angka-angka ini bisa jadi akan menurun seiring dengan perkembangan teknologi itu sendiri.

Pada tahun 2008, perjalanan wisata ruang angkasa untuk sipil dilakukan pengusaha video game asal Cambridge, Inggris, Richard Garriot de Cayeuc yang membayar USD30 juta kepada Soyuz Rusia, untuk menghabiskan waktu 12 hari di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS). Sementara itu di tahun 2011, pengusaha asal Queens, New York, Dennis Tito membayar USD20 juta kepada Soyuz Rusia untuk mengorbit 350 km di atas Bumi.

Kembali ke soal PD Aerospace, upaya mengembangkan bisnis wisata ruang angkasa ini mendapat dukungan dari maskapai terbesar di Jepang ANA Holdings sebesar 20,4 juta yen dan 30 juta yen dari HIS Co.Ltd, sebuah agen perjalanan wisata terkemuka di Negeri Sakura.

Baca Juga: Kembangkan Bisnis Ruang Angkasa, Jeff Bezos Jual Saham Amazon Rp13,3 Triliun
Sementara itu, sang tetangga yaitu China juga berambisi masuk pasar wisata ruang angkasa. Chairman Kuang-Chi Science Liu Ruopeng mengatakan seiring pertumbuhan ekonomi Asia yang melesat, pasar wisata ruang angkasa sangat terbuka di Benua Kuning.

Perusahaan yang berbasis di Shenzhen ini bahkan sudah membangun kapsul ruang angkasa berkapasitas enam penumpang, dimana mereka bisa menjelajah hingga 100 km di atas Bumi. Menurut Liu, jarak seperti itu memiliki potensi besar dalam bisnis wisata angkasa luar, karena penumpang tidak perlu dilatih secara fisik layaknya astronot. “Semua orang bisa pergi,” kata Liu. Hanya saja mereka belum memutuskan soal harga tiket.

Kuang-Chi Science berharap program wisata ruang angkasa ini dapat beroperasi pada tahun 2020. Seperti Ogawa, Liu pun tidak melihat kehadiran perusahaan Barat sebagai saingan. Dan menganggap perusahaan Barat dan Timur hadir di bisnis wisata ruang angkasa untuk saling melengkapi.

“Tujuan kami adalah membantu orang-orang di China melakukan perjalanan ke ruang angkasa. Selama ini, orang-orang di China sudah menyaksikan perubahan besar dalam hidup mereka, dimana semakin banyak orang China yang berwisata ke luar negeri. Dan suatu hari, mereka bisa melakukan perjalanan ke ruang angkasa,” tukasnya.

Lantas bagaimana dengan negara Asia lainnya? India sebagai kekuatan ekonomi terbesar ketiga di Asia memilih absen dalam persaingan bisnis wisata ruang angkasa. Peneliti dari Institute for Defense Studies and Analyses Ajay Lele yang menulis “Perlombaan Ruang Angkasa Asia: Retorika atau Realita?”, mengatakan India belum waktunya menuju bisnis pariwisata ruang angkasa.

Alasan dia, India masih harus fokus pada pengembangan ekonomi dalam negeri dan perusahaan swasta di India, saat ini belum mampu mengubah ide-ide besar menjadi kenyataan seperti SpaceX.

Di luar kedua negara Asia Timur itu, kejutan datang dari Malaysia. Perusahaan negeri jiran Malaysia Independence-X bekerja sama dengan Google Lunar XPrize, mengembangkan pesawat ruang angkasa demi menyasar pasar wisata ruang angkasa. Bahkan mereka berencana mengirimkan pesawat robot ruang angkasa ke bulan pada akhir 2017. Malaysia pun menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang melakukan proyek mercu suar ini.

Terkait masuknya perusahaan-perusahaan Asia dalam bisnis wisata ruang angkasa, Ajay Lele mengatakan bila banyak negara Asia ingin mengembangkan pasar ini, tidak bisa hanya berdiri sendiri alias sektor swasta. Pemerintah dan perusahaan swasta harus bekerja sama berinvestasi di bidang ini. Semoga suatu saat Indonesia melakukannya.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6443 seconds (0.1#10.140)