Kepercayaan Mistis di Balik Gerhana Bulan di Indonesia

Jum'at, 27 Juli 2018 - 17:18 WIB
Kepercayaan Mistis di Balik Gerhana Bulan di Indonesia
Kepercayaan Mistis di Balik Gerhana Bulan di Indonesia
A A A
JAKARTA - Gerhana bulan total terlama akan menghiasi langit Indonesia pada tengah malam ini, Sabtu (28/7/2018). Fenomena alam ini, dipercayai berbeda beda dari masing masing wilayah.

Di Indonesia sendiri, terutama pada masa lampau masyarakat Batak Toba yang masih tinggal di pedesaan, percaya bahwa gerhana bulan disebabkan oleh Angkalau atau pasukan matahari yang menyerang bulan.

Jika Gerhana Bulan terjadi, masyarakt memukul kaleng serta meneriakan "Paulak bulan i Angkalau" yang artinya Kembalikan Bulan itu Angkalau!!!.

Seperti yang dituliskan Bungaran Antonius Simanjuntak dalam Pemikiran tentang Batak: Setelah 150 Tahun Agama Kristen di Sumatera Utara (2011), mereka beranggapan bahwa si Bangkalau akan mengembalikan bulan dan bercayaha seperti biasa lagi, apabila teriakan serta suata yang riuh rendan itu didengarnya.

Demikian cerita-cerita itu dituturkan dari mulut ke mulut sejak anak kecil sampai tua dan diwariskan terus-menerus kepada generasi berikutnya sebagai salah satu warisan budaya.

Tak hanya itu, dalam mitologi Jawa juga disebabkan konflik para dewa yang melibatkan dua benda langit tersebut.

Dibeberapa wilayah Jawa, warga percaya gerhana bulan merupakan pertanda datangnya Batara Kala. Bulan yang perlahan hilang merupakan tanda bahwa Batara Kala telah memakannya.

Untuk memuntahkan kembali, masyarakat Jawa membunyikan berbagai tabuhan agar suasa menajdi riuh.

Jika di Jawa ada Batara Kala dan Batak ada sosok Bangkalau, di tanah Kalimantan khususnya di budaya Dayak, percaya bahwa gerhana terjadi akibat bulan ditelan oleh sebuah makhlu gaib bernama Ruhu.

Jika itu terjadi orang-orang Dayak akan membunyikan gong atau benda apa saja supaya bulan tidak lama hilangnya.

Kepercayaan lain ketika terjadi gerhana bulan adalah keluar harus menutup kepala dengan wajan atau baksmon. Denga tujuan agar rambut tak memutih.

Tak hanya di Indonesia, dahulu kala Christopher Columbus memanfaatkan gerhana blood red pada tahun 1504 untuk menakut-nakuti penduduk asli di Jamaika agar memberi makan ia dan krunya.

Dilansir laman Space, Colombus bertemu dengan kepala daerah setempat, dan mengatakan kepadanya bahwa dewa Kristen marah dengan orang-orangnya karena tidak lagi menyediakan makanan.

Ketika bulan mulai berwarna merah, penduduk asli ketakutan dan datang berlari dari segala arah ke kapal-kapal dengan membawa penuh perbekalan.

Tepat sebelum fase total gerhana hampir berakhir, Columbus mengatakan Tuhan telah mengampuni penduduk asli dan akan membawa bulan kembali.
(wbs)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7505 seconds (0.1#10.140)