Pemanfaatan teknologi Baru Dorong Pertumbuhan Negara Berkembang

Minggu, 07 Oktober 2018 - 23:25 WIB
Pemanfaatan teknologi Baru Dorong Pertumbuhan Negara Berkembang
Pemanfaatan teknologi Baru Dorong Pertumbuhan Negara Berkembang
A A A
OXFORD - Diskusi di tingkat global mengenai dampak dari teknologi terdepan (frontier technologies) seringkali tidak terumuskan dengan baik. Akibatnya, kebijakan negara berkembang cenderung jalan di tempat.

Ini merupakan hasil temuan dari riset terbaru yang baru saja dirilis akhir pekan kemarin oleh Komisi Pathways for Prosperity on Technology and Inclusive Development atau Komisi Pathways.

Penelitian yang rencananya akan dibahas dalam pertemuan tahunan World Bank dan IMF mendatang di Bali ini juga menemukan, bahwa diskusi mengenai dampak dari teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) didasari bukti yang kurang. Selain itu, fokus bahasannya pun lebih kepada penerapan di negara maju. Dengan demikian, kurang mampu memberikan gambaran yang cukup bagi pemerintah, dunia bisnis maupun warga negara berkembang terkait dampaknya terhadap mereka.Komisi Pathways ini juga menemukan diskusi-diskusi ini terpolarisasi antara kekhawatiran robot akan menggantikan peran manusia dalam banyak pekerjaan. Dan adanya anggapan teknologi bakal menjadi solusi tunggal dari semua masalah.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, revolusi teknologi berikut disrupsi yang terjadi akibatnya, menawarkan berbagai peluang dan juga tantangan baru. "Cara baru untuk meningkatkan kesejahteraan bagi banyak orang, termasuk mereka yang tinggal di negara yang ekonominya sedang berkembang, tercipta berkat teknologi terdepan ini. Sekarang tinggal bagaimana untuk memastikan bahwa cara baru ini bisa benar-benar inklusif,” katanya dalam siaran pers di Jakarta, Minggu (7/10/2018).

Sri Mulyani menjelaskan, negara yang ekonominya sedang berkembang harus mampu menghadapi dan beradaptasi dengan disrupsi teknologi yang terjadi. Di Indonesia misalnya, teknologi digital telah menghubungkan sektor ekonomi informal dengan sektor ekonomi formal.

"Karena itu, kita perlu segera memulai diskusi baru berdasarkan bukti kuat terkait upaya pemberdayaan para pengambil keputusan di negara-negara berkembang. Tujuannya agar mereka lebih bisa mengkapitalisasi teknologi baru serta mengelola dengan lebih baik disrupsi yang terjadi,” paparnya.

Komisi Pathways menegaskan, mengatasi eksklusivitas teknologi digital dan ketidaksetaraan digital adalah kuncinya. Dengan tiga miliar jiwa yang diprediksi akan tetap offline pada 2023 dan semakin banyak lagi yang gagal memperoleh potensi dari internet secara penuh, pendekatan bisnis seperti biasa (business-as-usual) untuk desain dan penyampaian layanan digital tidak akan bisa menjangkau orang-orang termajinalkan.

“Kita tidak bisa membiarkan batasan yang menghalangi kelompok miskin dan marjinal untuk mendapatkan manfaat dari inovasi teknologi di masa mendatang,” ungkap Co-Chair the Bill & Melinda Gates Foundation, serta Co-Chair Komisi Pathways, Melinda Gates.

“Jika bisa lebih strategis dalam investasi dan kebijakan yang kita ambil di titik kritis ini, kita bisa membantu lebih banyak orang memanfaatkan teknologi untuk meruntuhkan batasan-batasan ini dan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi semuanya,” tambahnya.

Menurut Komisi Pathways, gelombang perubahan teknologi saat ini mewakili persimpangan jalan dalam sejarah yang unik, terutama dalam hal cakupan dan kecepatannya. Akan ada yang menang dan ada yang kalah. Tapi kemampuan teknologi dalam membantu pengentasan kemiskinan yang ekstrem dan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) bergantung pada pilihan keputusan negara bersangkutan.
(mim)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1198 seconds (0.1#10.140)