Australia Keluarkan Aturan Denda untuk Perusahaan Media Sosial

Jum'at, 05 April 2019 - 11:28 WIB
Australia Keluarkan Aturan Denda untuk Perusahaan Media Sosial
Australia Keluarkan Aturan Denda untuk Perusahaan Media Sosial
A A A
CANBERRA - Australia akan menjatuhkan denda pada perusahaan media sosial atau penyedia web hosting sebesar 10% dari pendapatan global tahunan jika mereka tidak menghapus konten yang melanggar undang-undang (UU) baru.

Canberra juga mengancam akan memenjarakan para petinggi perusahaan teknologi tersebut selama tiga tahun jika mengabaikan konten yang dianggap membahayakan.

UU baru itu diloloskan parlemen kemarin sebagai respons atas serangan pria bersenjata di dua masjid di Christchurch pada 15 Maret silam yang menewaskan 50 orang saat salat Jumat. Pria warga Australia bernama Brenton Tarrant, 28, pendukung supremasi kulit putih, menyiarkan langsung aksi penyerangan melalui akun Facebooknya. Perusahaan media sosial harus berjuang keras membendung penyebaran video serangan Christchurch yang sangat masif dan luas.

Perdana Menteri (PM) Australia Scott Morrison menggambarkan tindakan penyebaran konten kekerasan itu tidak bisa diterima.

Sebelumnya, Morrison mengungkapkan, perusahaan media sosial harus bertanggung jawab untuk menjamin produk teknologi mereka tidak mengeksploitasi teroris. ”Itu bukan hanya menjadi masalah sepele. Itu seharusnya menjadi UU,” ujarnya.

Hukuman tersebut termasuk denda senilai USD7,5 juta atau 10% dari total pendapatan global tahunan. Dengan UU baru itu, perusahaan teknologi dan media sosial, seperti Facebook Inc dan Alphabet yang mengelola Google, YouTube, bisa dijerat jika tidak menghapus video atau foto menunjukkan pembunuhan, penyiksaan, atau pemerkosaan. Perusahaan tersebut juga harus menginformasikan pada polisi Australia dengan kerangka waktu yang ”masuk akal”.

”Sangat penting bagi kita membuat pernyataan sangat jelas terhadap perusahaan media sosial. Kita memperkirakan perilaku mereka akan berubah,” kata Menteri Komunikasi dan Seni Australia Mitch Fifield kepada reporter di Canberra, Australia, dilansir Reuters, kemarin.

Jaksa Agung Australia Christian Porter menggambarkan UU baru itu sebagai Aturan hukum pertama di dunia yang mengatur pelaksanaan media sosial dan platform online. ”Tragedi Christchurch dua pekan lalu membawa isu ini mencuat,” kata Porter dilansir CNN.

Hasil diskusi pekan lalu dengan perusahaan media sosial, khususnya Facebook, menurut Porter, perlunya langkah cepat melindungi pengguna dari tayangan langsung pembunuhan Christchurch dan kekerasan lain. ”Pemerintah harus bertindak dengan UU baru ini,” tuturnya.

Partai Buruh yang menjadi oposisi juga menyatakan sikap mendukung legislasi itu. Mereka menyatakan akan berkonsultasi dengan industri teknologi untuk membahas dampak UU tersebut. Namun, beberapa anggota parlemen sepertinya akan memberikan penolakan karena keberatan dan sektor industri.

Kemudian Senator Richard Di Natale, Pemimpin Partai Hijau Australia mengungkapkan, UU itu harus diperdebatkan dan dikritisi. ”Kita memang harus mengatur regulasi media sosial dan konten online,” ujarnya.

Nanti juri juga akan memutuskan apakah perusahaan media sosial itu terkena kasus atau petinggi yang berisiko terjerat.

”Siapa pun juri yang terlibat, mereka bisa saja salah, tetapi ketika kamu menambah teknologi yang bercampur, maka itu akan kompleks. Risikonya pun berat,” kata Jason Bosland, profesi hukum media dari Universitas Melbourne.

Sementara itu, perusahaan teknologi menyatakan mereka telah bekerja sama mengenai isu tersebut. ”Kita tidak memiliki toleransi terhadap konten terorisme di platform kita,” ujar juru bicara Google.

Dia mengungkapkan, Google berkomitmen mengembangkan teknologi baru dan standar untuk mengidentifikasi dan menghapus konten terorisme. Juru bicara Facebook belum berkomentar mengenai UU baru di Australia itu.

Namun, Facebook pekan lalu mengungkapkan tentang pembatasan siapa yang bisa mengakses layanan video streaming langsung tergantung dengan beberapa faktor.

Digital Industry Group Inc (DIGI) yang terdiri dari Facebook, Apple, Google, Amazon, dan Twitter, mengungkapkan UU baru itu gagal memahami kompleksitas penghapusan konten kekerasan. ”Dengan jumlah konten yang sangat banyak diunggah ke internet setiap detik, itu menjadi permasalahan kompleks yang besar,” kata Direktur Pelaksana DIGI, Sunita Bose.

Bose juga mengungkapkan, UU tersebut lolos tanpa konsultasi lebih dalam dan bermakna dengan industri digital, pakar keamanan, hukum, dan teknis.

”Menghukum staf perusahaan media sosial tidak tepat untuk demokrasi di Australia. Itu juga tidak membantu penyelesaian masalah,” katanya.

Dewan Hukum Australia menyatakan, UU itu memiliki konsekuensi serius yang tidak diinginkan. ”Membuat perusahaan media sosial dan para eksekutifnya bisa dipenjara karena live streaming merupakan langkah serius harus dipertimbangkan hati-hati,” kata Presiden Dewan Hukum Australia Arthur Moses SC.

Sementara itu, Senator Mitch Fifield yang mendukung legislasi itu membela UU tersebut. ”Hari ini (kemarin) kita meloloskan UU pertama yang menghukum individu, situs, dan platform media sosial, yang memublikasi materi tidak layak. Setelah insiden penembakan Christchurch, kita tidak toleran dengan berbagi informasi seperti itu,” tuturnya.

Sebelumnya, PM Selandia Baru Jacinda Ardern menganggap perlunya konsensus internasional untuk menjaga platform media sosial dari konten yang merusak. ”Kita akan menyerukan aturan yang baik, tetapi platform tersebut itu telah mengglobal,” katanya.

Seruan standarisasi itu juga pernah diungkapkan pendiri Facebook, Mark Zuckerberg. Dia meminta pemerintah membuat aturan untuk melarang konten tertentu. ”Sangat mustahil menghapus seluruh konten berbahaya dari internet ketika banyak orang menggunakan layanan tersebut,” katanya. (Andika Hendra)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8635 seconds (0.1#10.140)