Seperti Ini Cara Menghindarkan Anak Dari Kecanduan Gawai

Sabtu, 26 Oktober 2019 - 09:15 WIB
Seperti Ini Cara Menghindarkan Anak Dari Kecanduan Gawai
Seperti Ini Cara Menghindarkan Anak Dari Kecanduan Gawai
A A A
Setiap hari Wawa (5) seorang gadis kecil menarik perhatian teman teman sekelasnya di Taman Kanak Kanak karena ulahnya yang aktif. Saat yang lain berbaris Wawa lebih senang berlari dan bermain sendiri. Hal ini terjadi sejak hari pertama sekolah hingga saat empat bulan masa sekolah berlangsung.

Awalnya, sang ibu, Siti Hajar mengira masa adaptasi yang membuat sang anak masih perlu waktu untuk mengenal lingkungan baru. Tapi Siti menyadari apa yang terjadi pada Wawa kemungkinan disebabkan oleh penggunaan gawai yang terus menerus sepanjang hari. "Saya sibuk buat kue pesanan sehingga Wawa saya kasih HP saja supaya tidak mengganggu," ungkap SH.

Sikap Wawa memang terlihat berbeda dengan anak seusianya. Bukan ceria khas anak-anak namun raut muka kemarahan dan kekesalan yang terlihat. Hal tersebut terjadi jika gawai diambil karena harus sekolah. Sehingga ketika sampai di sekolah Wawa selalu berontak.

Siti terkadang sulit untuk membujuk sehingga yang dilakukan agar Wawa masuk kelas ialah dengan membeli mainan yang dijual di depan sekolah. Cara satu-satunya yang berhasil guna membuat Wawa mengikuti arahan guru. Saat pulang ke rumah pun Wawa kembali meminta gawai jika tidak dia akan berteriak hingga menangis.

Banyak saran yang datang pada Siti untuk membuat Wawa bisa lepas dari gawai salah satunya untuk segera mendatangi psikiater. SH masih mengumpulkan niat yang besar untuk siap mendatangi dokter kejiwaan atau psikiater.

Lahargo Kembaren Kepala Instalasi Rehabilitasi Psikososial RS.dr.H.Marzoeki Mahdi Bogor kecanduan yang sudah dapat mengganggu aktivitas dan menimbulkan emosi berlebih dapat segera dikonsultasikan kepada psikiater ataupun psikolog.

"Kesadaran orangtua untuk segera membawa anaknya ke dokter kejiwaan sekarang mulai meningkat. Mereka sudah mulai sadar dan peduli. mengetahui mengenai kesehatan jiwa meskipun masih ada stigma jika datang ke psikiater berarti gila. padahal belum tentu karena semua harus dikonsultasikan," ujar Lahargo.

Kecanduan gawai itu merupakan sebuah penyakit juga yang harus diobati bahkan diperlukan rawat inap jika sudah parah. Dia menjelaskan, gangguan adiksi merupakan penyakit yang menyerang bagian otak. Dalam saraf otak juga terdapat zat kimia yang disebut Neurotransmitter yang sedang tidak stabil jika sedang sakit. Sama halnya dengan pecandu narkoba, neurotransmitter yang membuat senang.

Para pecandu gawai ada perasaan senang, namun ketika neurotransmitter-nya berkurang rasa ingin terus memakai, jika tidak ada akan dicari. "Untuk mengatasi itu, kami akan memberikan obat, tidak ketinggalan juga terapi guna mengubah mindset perilaku dan perasaan. Terakhir, jika berat sekali gangguannya akan dilakukan rehabilitas. Ketiga itu bukan tahapan, dapat dilakukan ketiganya tergantung kondisi pasien," jelas Lahargo.

Pengobatan kecanduan yang merusak otak juga dapat disembuhkan dengan menggunakan alat bernama Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) yang ditempel di kepala. Fungsinya untuk memberikan stimulus gelombang magnet di otak. Satu alat lagi yakni untuk menyeimbangkan gelombang di otak atau disebut terapi neurofeedback.

Sekjen Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati pun selalu mengingatkan orangtua untuk selalu kreatif menciptakan permainan untuk anak sehingga mereka tidak tenang dengan gawai.

"Saya selalu mengingtakan para ibu disaat acara seminar parenting. Jangan pernah mengandalkan gadget untuk mengasuh anak. kita harus mau lelah untuk bisa menemani anak dengan bermacam cara," ungkap Rita.

KPAI memang tidak memiliki data mengenai masalah kecanduan gawai karena jarang terjadi pelaporan untuk kasus ini. Terlebih kecanduan gawai bukan sebuah tindakan pidana, namun KPAI terus berupaya mengedukasi orangtua untuk lebih bijaksana dalam memberikan gawai kepada anak.

Di sekolah pun KPAI menyoroti dengan adanya pembatasan. "Peraturan menteri Kominfo, KPPAI dan KPAI belum diputuskan secara resmi peraturan membawa gawai ke sekolah sehingga saat ini masih kewenangan sekolah," tambah Rita.

KPAI menghimbau kepada sekolah yang ingin menerapkan teknologi sebagai sarana belajar, agar memilih menggunakan komputer di sekolah atau laptop. Sementara itu, Nisa Felicia peneliti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) mengatakan, sangat dibutuhkan perhatian pemeritah untuk selalu mengingatkan masyarakat agar tidak sembarangan memberi gawai pada anak.

"Ini menyangkut perkembangan anak Indonesia, kesehjahteraan. Tumbuh kembang anak juga tanggung jawab negara," ungkapnya. Namun, pemerintah bukan hanya sekedar melarang namun mencarikan solusi. Seperti di Amerika Serikat ada himbauan memberikan waktu bebas anak untuk bermain gawai hanya satu jam setiap hari. Selebihnya, anak dapat beraktivitas lain bermain dengan teman, membaca atau belajar.

"Buat gerakann nasional setelah belajar 45 menit anak boleh bermain gawai 15 menit. Gerakan Ayo Main di luar karena ketika anak hanya main gawai banyak yang hilang dari dirinya. Anak menjadi tidak berinteraksi, tidak berkeringat, tidak ada pengalaman berkonflik yang dapat membuat dia belajar menyelesaikan masalah dan mengelola emosi," ujar dosen di Universitar Sampoerna ini.

Pemerintah diharapkan tidak hanya melarang namun memberikan alternatif. Jika pemerintah ingin memberikan gerakan literasi bisa dikaitakan dengan penggunaan gawai. Sehingga dua pesan tersampaikan sekaligus dalam satu program.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8675 seconds (0.1#10.140)