Semakin Kotor, Krisis Sampah Terjadi di Luar Angkasa

Sabtu, 28 Desember 2019 - 10:30 WIB
Semakin Kotor, Krisis Sampah Terjadi di Luar Angkasa
Semakin Kotor, Krisis Sampah Terjadi di Luar Angkasa
A A A
NEW YORK - Luar angkasa telah tercemar. Tingkat sampah di luar angkasa bahkan mendekati titik krisis. Permasalahan itu kian memburuk menyusul tidak adanya peraturan internasional tentang pengelolaan sampah di luar angkasa.

Badan Luar Angkasa Eropa (ESA) menyatakan saat ini terdapat lebih dari 34.000 objek buatan manusia di orbit bumi. Sebagian besar sampah logam itu bergerak ke sana ke mari dan meningkatkan risiko kecelakaan di luar angkasa. Pada September silam, satelite ESA juga hampir menabrak puing pesawat Space-X.

Sampah di luar angkasa diprediksi semakin menumpuk menyusul adanya rencana penerbangan dan pemasangan puluhan ribu satelite baru, termasuk 12.000 satelite yang akan dikirimkan Space-X pada tahun depan. Menurut NASA, jumlah sampah di luar angkasa sebesar 10 sentimeter mencapai 23.000 puing.

“Kami sendiri bukanlah badan pengawas luar angkasa. Begitupun dengan NASA,” ujar Holger Krag dari Departemen Keselamatan Luar Angkasa ESA, dilansir Euronews. “Dalam peraturan saat ini, setiap negara bebas mengakses luar angkasa tanpa batas. Saya kira kita perlu memiliki hukum internasional seperti di bumi,” imbuh Krag.

ESA memperhitungkan sekitar 5.000 satelite berada di luar angkasa, 3.000 di antaranya sudah tidak aktif. Potensi tabrakan antara satelite dan puing cukup besar. Saat ini, “polisi” utama yang mengawasi lalu lintas luar angkasa ialah Space Surveillance Network milik Tentara Angkatan Udara (AU) Amerika Serikat.

“Mereka sangat pragmatis dalam berbagai data. Padahal, data itu menjadi sumber sangat penting bagi siapapun yang mengoperasikan pesawat luar angkasa,” kata Krag. Namun, data dari Space Surveillance Network kurang akurat. Krag mengungkapkan ESA sering menerima peringatan keliru dari jaringan tersebut.

ESA menyarankan kepada setiap operator untuk membawa pulang serpihan dan objek yang tidak lagi digunakan. Tugas tersebut tidaklah mudah. Sebab, selain tidak mengeluarkan cahaya atau sinyal, objek itu bergerak dengan kecepatan 25.000 kilometer per jam secara acak dan memiliki daya hancur yang hebat.

Rusia, AS, China, Prancis, India, dan Jepang menjadi negara yang paling banyak menyumbangkan sampah di luar angkasa, terutama tabrakan dan uji coba misil anti-satelite. Rusia telah meninggalkan 5.099 puing; AS 4.815 puing; China 3.720 puing; Prancis 507 puing; India 163 puing; dan Jepang 115 puing.

Pada 2009, sekitar 800 kilometer di atas Siberia, dua satelite bertabrakan saat bergerak dengan kecepatan 35.000 kilometer per jam. Ribuan logam pun membuncah dari satelite Cosmos 2251 milik Rusia dan satelite Iridium 33 milik AS. Peristiwa itu menjadi salah satu kecelakaan penyumbang sampah terbesar.

Para ahli membagi sampah di luar angkasa ke dalam tiga ukuran, yakni di bawah 1 sentimeter, 1-10 sentimeter, dan di atas 10 sentimeter. Jumlah sampah di bawah 1 sentimeter diyakini 50 kali lebih banyak dibandingkan 10 sentimeter. Sebagian besar terletak di orbit rendah bumi atau tempat satelite bernaung.

Sampah di luar angkasa diyakini terjadi sejak satelite pertama buatan Rusia, Sputnik, lepas landas dari bumi pada 4 Oktober 1957. Momen bersejarah itu menjadi awal Era Luar Angkasa yang mendorong masyarakat internasional untuk menjelajah luar angkasa. Sejauh ini, lebih dari 4.700 pesawat telah diluncurkan.

Namun, penerbangan itu menyisakan sampah, baik dari roket ataupun satelite yang kehabisan bahan bakar. Beberapa sampah yang dihasilkan ialah mur, baut, kantong sampah, tutup lensa, obeng, hingga spatula. Jumlahnya kian meningkat tajam menyusul adanya tabrakan antar satelite atau diledakannya satelite.

Sejumlah kecil sampah diperkirakan akan kehilangan ketinggian dan terbakar di dalam atmosfir bumi. Namun, sebagian besar akan tetap berada di luar angkasa. Bahkan, berdasarkan simulasi, serpihan sebesar 10 sentimeter akan meningkat dua kali lipat dalam 200 tahun ke depan, sedangkan di bawahnya 4 kali.

Peluncuran satelite juga kemungkinan tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Sejumlah badan luar angkasa di dunia, termasuk ESA, mengambil kebijakan yang berbeda dalam mengatasi isu ini. Belakangan ini, JAXA juga sedang mengembangkan teknologi baru untuk menyaring sampah di luar angkasa. (Muh Shamil)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0096 seconds (0.1#10.140)