Ada yang Menabukan Ijtihad, Begini Pendapat Cak Nur

Selasa, 10 Januari 2023 - 21:38 WIB
loading...
Ada yang Menabukan Ijtihad, Begini Pendapat Cak Nur
Di kalangan ulama klasik ada pendapat hampir merata bahwa ijtihad adalah suatu tugas yang penuh gengsi. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Cendekiawan Muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) atau populer dipanggil Cak Nur, berpendapat masalah taqlid dan ijtihad, menyangkut hal-hal yang cukup rumit, mendalam, dan meluas serta kompleks.

"Karena itu di kalangan ulama klasik ada pendapat hampir merata bahwa ijtihad adalah suatu tugas yang penuh gengsi, tapi justru karena itu menuntut persyaratan banyak dan berat," ujarnya dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" bab "Taqlid dan Ijtihad, Masalah Kontinuitas dan Kreativitas dalam Memahami Pesan Agama".

Menurutnya, ijtihad bisa dilakukan hanya oleh orang-orang tertentu yang benar-benar telah memenuhi syarat. "Syarat-syarat itu sekarang boleh kedengaran kuno, namun ia dibuat dengan tujuan menjamin adanya kewenangan dan tanggung jawab," tambahnya.

Hanya saja, pelukisan tentang kegiatan ijtihad sebagai sesuatu yang amat eksklusif telah melahirkan persepsi salah.



Dalam sejarah masyarakat Muslim sempat tumbuh pandangan yang hampir menabukan ijtihad. Sikap penabuan dengan sendirinya tidak dapat dibenarkan meskipun sesungguhnya ia muncul dari obsesi para ulama pada ketertiban dan ketenangan atau keamanan, yaitu tema-tema teori politik Sunni, khususnya di masa-masa penuh kekacauan menjelang keruntuhan Baghdad.

"Tapi, dalam perkembangan selanjutnya penabuan itu juga dapat dilihat sebagai kelanjutan masa kegelapan (obskurantisme) dalam pemikiran Islam," ujar Cak Nur.

Kini, ijtihad itu diajukan orang sebagai salah satu tema pokok usaha reformasi atau penyegaran kembali pemahaman terhadap agama. Melalui tokoh-tokoh pembaharu seperti Muhammad Abduh dan Sayid Ahmad Khan, ijtihad dikemukakan kembali sebagai metode terpenting menghilangkan situasi anomalous dunia Islam yang kalah dan dijajah oleh dunia Kristen Barat.

Disebut anomalous, karena selama paling kurang tujuh atau delapan abad, orang-orang muslim terbiasa berpikir bahwa dunia ini milik mereka, dan hak mengatur dunia hanya ada pada mereka, sebagai salah satu akibat penguasaan mereka atas daerah-daerah sentral peradaban manusia, terutama daerah Nil sampai Ozus, jantung kawan(Oikoumene).

Menurut Cak Nur, para pembaharu mendapati bahwa praktik taqlid yang umum menguasai orang-orang muslim, baik awam maupun ulama, telah berkembang menjadi suatu sikap mental, jika bukan malah pandangan teologis, yang meliputi penolakan secara sadar terhadap segala sesuatu yang baru, khususnya jika berbentuk unsur dari budaya asing.



Ini dengan mudah dilihat gejala xenophobia. Xenophobia itu sendiri merupakan gejala, paling untung chauvinisme, paling celaka kecemasan dan rendah diri.

Gejala ini pula yang hari-hari ini dilihat al-Makki, seorang pemikir Mekkah dari madzhab Maliki. Ia melukiskan semangat kosmopolit zaman klasik Islam, khususnya zaman Umar bin Khattab. Sebab, sepanjang penuturannya, Umar adalah seorang yang "berpikiran luas, yang tidak segan-segan mengambil apa saja yang baik dari umat-umat lain, meskipun umat itu kafir.

Bahkan Umar "tidak memandang semua perkara bersifat ta'abbudi (bernilai 'ubudiyyah, devotional), dan tidak memandang baik terhadap sikap jumud dalam hukum, tetapi mengikuti berbagai pertimbangan kemaslahatan dan melihat makna-makna yang merupakan poros penetapan hukum (manath al-tasyri') yang diridlai Allah SWT.

Pandangan 'Umar ini sejalan dengan, dan merupakan konsekwensi dari, penegasannya bahwa "tidaklah ada gunanya berbicara tentang kebenaran namun tidak dapat dilaksanakan."

Agaknya jalan pikiran Umar dari zaman klasik (salaf) Islam itu muncul lagi pada orang-orang tertentu dari kalangan para pemikir Islam zaman modern, khususnya Muhammad Abduh. Tokoh pembaharu modern paling berpengaruh ini "memahami ijtihad dalam pengertiannya yang luas sebagai penelitian bebas, menurut kerangka aturan yang telah mapan tentang pengambilan hukum dan norma-norma moral Islam, dan tentang apa yang paling baik disini dan sekarang."



Berkenaan dengan itu, sungguh menarik pemaparan pemikiran al-Makki bahwa melakukan ijtihad, dari kalangan generasi awal Islam, tidak hanya para Sahabat seperti 'Umar dll., malah juga Rasulullah sendiri!

Menurut al-Makki, selain selaku Utusan Tuhan yang menerima wahyu parametris, Nabi juga sering melakukan ijtihad dengan menggunakan metode analogi atau qiyas. Al-Makki mengatakan bahwa dalam berijtihad Nabi selalu benar, atau kalaupun salah beliau akan segera mendapat teguran Ilahi melalui wahyu yang suci sehingga kesalahan itu tidak melembaga dan menjadi satu dengan pola hidup orang banyak.

Dalam hal ini al-Makki mirip dengan Ibn Taimiyah yang berpendapat bahwa Nabi bersifat ma'shum hanya dalam tugas menyampaikan (al-balagh) wahyu. Jika di luar itu Nabi bisa salah, meskipun amat jarang, dan selalu langsung dikoreksi Tuhan.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2135 seconds (0.1#10.140)